Ritual Memotret Makanan

Percakapan di kedai es campur ini terdengar di telinga saya, tidak doyan tapi tetep beli hanya karena bagus difoto? Mungkin maksudnya difoto untuk diunggah ke instagram.

Sudah bukan hal aneh kalau di tempat-tempat makan banyak yang sibuk memotret makanan atau minuman yang dibeli dan baru menyantapnya setelah selesai dengan urusan mengunggah foto tersebut. Tak jarang sampai makanannya dingin, es krim dan es campurnya mencair. Lalu apa yang nikmat dari hidangan yang sudah terlampau lama ditinggalkan – bahkan sudah berubah bentuk tersebut?

Esensi dari menikmati makanan atau hidangan saat ini sudah bukan fokus satu-satunya dari kegiatan jajan atau pergi ke kafe yang makin menjamur saat ini. Berlomba-lomba untuk jadi yang paling eksis di kalangannya untuk perkara mengunjungi tempat makan/jajan terkini juga bisa jadi fokus lain.

Akibatnya, berbagai tempat jajanan berlomba menjual makanan minuman dengan tampilan unik dan cantik, serta tempat yang nyaman dan bagus untuk difoto untuk memancing para penyuka ‘social media purpose photography’ ini. ‘Instagramable’-lah istilah anak jaman sekarang. Sebuah kafe di kawasan Mangkubumi bahkan merancang kafenya dengan berbagai ornamen British dan beruang yang dilukiskan di dinding sebagai salah satu spot foto bagi konsumen.

Tempat dengan setting unik dan menarik menjadi ramai dikunjungi remaja dan juga orang dewasa bukan hanya sekedar untuk mencicip hidangannya, tetapi juga untuk memotretnya – ya suasananya, tempatnya, juga hidangannya. Jangan heran jika sedang makan atau jajan di suatu tempat makan lalu ada orang yang pesan beberapa makanan/minuman tapi tidak mereka nikmati sendiri, bahkan tidak disentuh sama sekali. Waktu yang dimiliki lebih banyak habis untuk mendokumentasi hidangan daripada menikmatinya.

Mereka hanya membutuhkan untuk foto-foto saja, sisanya dia biarkan temannya yang menikmati. Kalau pun mereka ikut menikmati paling hanya sekedar mencicip demi mendapatkan gambaran soal rasa untuk dideskripsikan dalam akun instagram-nya. Bahkan di Jogja sendiri, ada komunitas instagram khusus makanan yang kegiatannya seperti yang dideskripsikan tersebut dan anggotanya lumayan. Mereka selain aktif memotret makanan hasil jajanan mereka sendiri juga kerap kali diundang para pemilik usaha makanan untuk mencicip, foto-foto lalu mengunggah ke jejaring sosial mereka.

Fungsi konsumsi sudah mulai bergeser ke fungsi penanda eksistensi, makan untuk penanda keberadaan dirinya dalam suatu strata sosial tertentu. Hal ini sehubungan dengan persoalan tempat makan, menu yang dipilih serta harga juga menjadi pelengkapnya. Ditambah pula dengan maraknya promo yang dilakukan tempat makan berupa diskon atau gratis produk setiap mengunggah foto di tempat tersebut.

Jadi sudah bukan suatu hal yang luar biasa jika kemunculan akun-akun pengunggah foto makanan, minuman serta tempatnya kian hari kian bertambah. Makanan menjadi suatu objek yang dieskpos habis-habisan sebagai imej bukan lagi benda yang semata dinikmati indra perasa kita.

About Nurlina Maharani

penyuka warna hijau yang hobi membaca, koleksi mug dan berbagai buku. Selalu antusias jika berhubungan dengan makanan dan jalan-jalan. Penulis fiksi untuk kalangan sendiri, ditengah waktu sebagai pelajar Antropologi masa kini. Masih bercita-cita punya library-cafe suatu hari nanti. | t: @akulina | IG: @aku_lina

9 thoughts on “Ritual Memotret Makanan”

  1. Bener banget, dan satu lagi guyonan lucu tentang food blogger atau yang sering foto makanan adalah makanan yang panaspun akan menjadi dingin, karena sering difoto demi mencari angle terbaik 😀

    salam kenal kak

    Reply
    • Halo Bukanrastaman,
      terimakasih utk feedbacknya. 🙂 yah memang begitu lah kenyataan yang ada. Mungkin pernah mengalami juga?
      Salam kenal juga dari saya. 🙂

      Reply
  2. Pernah nyobain fotoin makanan sebelum disantap. Susah ternyata dapat gambar yang “menggugah selera”. Salut untuk yang ngupload foto makanan kemudian membuat yang lihat ingin makan juga.

    Reply
    • Hallo Unita 🙂

      terimakasih banyak utk feedback-nya. Persoalan memotret makanan yang menggugah selera memang tidak semua orang mampu menangkap sudut yang pas. Setidaknya kita bisa menikmati di berbagai sosial media sembari belajar juga. 🙂

      Reply
  3. Menarik sekali, Nurlina. Sebagai orang yang tidak ber fb/twit/instagram dll itu, ini benar-benar tidak pernah terpikirkan oleh saya. Dan tak kalah asyik mencermati bagaimana para wirausahawan melihat ini sebagai peluang. Hidup Jogja!

    PS: Semoga tercapai ‘library cafe’-nya. 🙂

    Reply
    • Hai, Kuka. 🙂

      Terima kasih banyak sudah ‘mampir’ ke tulisan saya.
      Mau tidak mau, jaman sekarang kalau mau buka usaha/ bisnis perlu melirik lahan semacam ini. Efeknya luar biasa, yah walau pun bukan yang utama namun cukup menjanjikan.

      Senang bisa berbagi. 🙂

      Reply

Leave a Reply to Lina Maharani Cancel reply